Saya seorang mahasiswa, semester tiga, disebuah universitas no.1 di negeri ini- bukan, hanya sebuah universitas yang dianggap no.1 karena bertitel nama bangsa dan negara saya 'Indonesia'. Universitas yang kata dosen saya sih 'seharusnya' mewakili negara saya di kancah internasional--eh toh dalam kancah dalam negeri aja kadang kita masih bisa kesalip dengan yang lain. Terkadang saya sih banga, kadang saya juga skeptis dengan universitas saya ini. Kenapa?
Saya bisa membayangkan bagaimana perasaan Sutan Sjahrir di momen-momen kemerdekaan, dia plin plan, penuh paradoks, menimbang-nimbang antara 'ya' dan 'tidak' sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengambil jalan paling ekstrem dalam hidupnya, 'bekerjasama dengan kolaborator jepang-soekarno pada waktu itu'. Ya inilah juga yang saya alami, jiwa muda saya memberontak, tidak menimbang sisi yang benar, yang saya mau adalah gebrakan, sebuah gebrakan dalam keluarga saya bahkan di kampung tempat saya dilahirkan atau di sekolah tempat saya menuntut ilmu, 'Masuk UI'. Ibu dan Bapak saya selalu dan selalu mengingatkan, apakah saya mampu?, apakah saya bisa mandiri?, apakah saya puas dengan pressure? Segala pertanyaan itu saya jawab dengan satu anggukan mantap namun keraguan kemudian. Keraguan apakah saya mampu.
Pesimis? Bukan. Tidak. Saya tidak pesimis saya tidak mampu. Sekali lagi saya kecewa dengan segala motivasi yang diberikan oleh orang mentereng sekalipun, ragu tidak berarti pesimis, ragu berarti memikirkan sebelum bertindak, lebih tepatnya saya adalah berusaha optimis, tapi optimis saya ada batasnya. Saya harus memikirkan ketika saya gagal, bukan menyugesti kalau saya gagal, itulah kenapa selama ini kita mengenal plan A, plan B, plan C. Plin plan kalau teman saya mengatakan mereka optimis tapi mereka masih saja membuat plan A, plan B, plan C dalam kegiatan atau rencana mereka. Klise bukan? Kalau kamu OPTIMIS, maka plan A saja cukup. Itulah kenapa saya benci motivasi, saya lebih suka mencari dan mencari. Saya selalu memikirkan kegagalan, kata teman saya itu malah menyugesti saya untuk gagal, sekali lagi, saya hanya berusaha bekerja dibatas kemampuan saya, itulah mengapa selama ini ada analisis SWOT bukan? Kalau anda optimis, tak perlu anda mengadakan analisis SWOT, karena poin W dan T malah menunjukkan kelemahan anda. Yang kata motivator itu 'menyugesti' anda untuk gagal.
Permasalahannya adalah saya seperti kehilangan sebuah arah. Entah karena nahkoda dalam tubuh saya ini yang mulai hilang arah atau navigasinya yang berantakkan. Saya berpikir UI ya, UI. Biasa saja, sebuah kampus yang karena letaknya dekat ibukota memberi kesempatan lebih pada mahasiswanya. Fasilitas lebih? Tentu, bayarnya juga mahal. Pasti-lah karena kita membawa nama 'Indonesia' tentunya negara lain notice ya sama universitas saya sehingga mau tidak mau pemerintah juga berusaha membuat UI terlihat bagus, bukan? Terlepas dari semua universitas yang ada, semua bagus kok, cuma sayang gak ada embel-embel 'Indonesia' sehingga ya kemajuannya bersifat kedaerahan, tidak ada prestise tersendiri dari namanya. Intinya semua mata tertuju pada UI karena embel-embel 'Indonesia' dan karena embel-embel itulah UI bisa maju sedemikian rupa. Sebenarnya kalau saja misal Universitas Sam Ratulangi, Hasanuddin, Cendrawasih, Brawijaya, Airlangga, atau beberapa universitas lain, terletak di ibukota negara dan lupakanlah nama lama mereka dan beri sedikit sentuhan nama 'Indonesia', nasib sistem administrasi dan birokrasi di dalamnya akan menyerupai UI. Jadi kenapa sih universitas di daerah saya gak se-'WOW' UI? Ya karena universitas ini terdesentralisasi, punya birokrasi sendiri meski ada dalam naungan Dinas Pendidikan, umumnya di daerah yang pembangunannya gak lebih bagus daripada pusat--penyakit era kolonial yang masih tumbuh hingga sekarang tepatnya, masalah desentralisasi.
Dulu saya menganggap, kenapa saya harus kuliah di Malang kalau UI memberikan banyak akses untuk saya ke depan, selangkah lebih maju-lah istilahnya. Saya menjelek-jelekkan sistem universitas di daerah saya tanpa tahu perkara dan tahu kenyataan. Saya maunya UI, kalau bukan UI saya mendingan tidak kuliah. Pemikiran kolot saya yang harus saya ubah. Satu hal yang saya pelajari selama ini adalah 'tidak ada orang pintar, yang ada hanyalah orang yang lebih dulu tau'. Pada akhirnya saya cukup malu dengan pemikiran sempit saya dulu kalau universitas lain tidak seberapa dibanding UI. Saya malu saat mendengar UI tidak menang dalam PKM atau kontes robotika. Hanya dua hal itu? Tapi cukup membuktikkan kalau semangat mahasiswa disini--termasuk saya--tidak seberapa dibandingkan sekolah pelosok di luar sana.
Dosen saya--Mas Didik--pernah cerita, di UB mereka mengirim 140 makalah untuk sebuah olimpiade atau apalah saya lupa dan UI hanya mengirim 40 makalah. Hasil akhir? UB hanya lolos 25 makalah dan UI 40 makalah lolos. Satu kelas tertawa. Saya hanya memandang miris. Apa yang kalian tertawakan? Anak UB memiliki semangat bersaing tinggi, berani meskipun mereka tidak diterima atau kalah, setidaknya mereka mencoba meski banyak calon yang berguguran. Malu sekali universitas saya yang isinya berapa ribu itu pemberaninya cuma 40, kacangan sekali ya--termasuk saya.
Kenapa sih masih mau membanggakan UI kalau saya belum memberi sepak terjang yang berarti? Kamu bangga mungkin--termasuk saya-- masuk UI diajar oleh para dosen yang lebih 'liberal' daripada dosen di universitas daerah, tapi, apakah itu akan berpengaruh pada pemikiran anda selanjutnya? Saya rasa saat saya mengaku anak UI itu adalah beban, bukan kebanggaan. Bangga adalah saat saya mampu menunjukkan kalau saya layak. Sekarang coba anda lihat, apakah dosen UI semua lulusan UI? Nggak kok, banyak yang lulusan universitas daerah, namun karena semangat mereka untuk maju itulah yang membuat mereka bisa menjadi orang ternama dan bisa jadi dosen-dosen hebat di UI. Sekarang hanyalah merubah mindset saya saja sih tentang pemikiran sempit dan underestimate kepada universitas daerah yang ecek-ecek atau memang kenyataan lapangan kalau UI memang layak untuk didewakan. Sedikit merenung mungkin bisa memberi pencerahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar