"Bagaimana kita setelah SMA nanti? Bagaimana kita sepuluh, lima belas, atau dua puluh tahun nanti?"
Gadis remaja itu terlihat senang menari-nari di tengah hujan ditemani payung warna pink dan mantel putih transparan miliknya. Rambutnya yang dikuncir kuda terlihat berayun-ayun kesana-kemari, menunjukkan keindahan rambutnya yang pekat. Senyumnya mengembang, tanpa beban, mengalun lembut dengan percikan hujan dan suara cipratan air dari sepatunya.
"Grinda ngapain sih hujan-hujanan?" tanya Dania teman sekelasnya sekaligus sahabatnya. Grinda menoleh dan tersenyum lebar.
"Asyik lhoo, coba pikir deh, kapan terakhir kali kamu hujan-hujanan kayak ginii?!" tantang Grinda. Dania tersenyum sambil mengingat-ingat. Saat dia berumur tujuh. Sudah lama sekali ternyata. Mungkin dia pernah berdiri di tengah hujan, toh karena faktor kehujanan.
"Masa kecil kurang bahagia ya?" ledek Dania tapi dia malah ikut-ikutan melakukan kegiatan yang sama seperti Grinda.
"Kayak sinetron, film drama picisan..." ucap Dania jijik. Grinda tertawa mendengar ucapan Dania.
"Dann..pleasee deh, orang kamu juga ikut-ikutan juga kan?!" sindir Grinda. Dania hanya mengangkat bahu. Sesekali ditendangnya genangan air sehingga mengenai Grinda yang dibalas dengan perbuatan yang sama oleh Grinda. Mereka tertawa lepas, tidak sadar baju seragam SMA mereka sudah basah kuyup.Tidak sadar kegilaan yang telah dilakukan oleh gadis 17 tahun seperti mereka. Mereka hanya ingin bermain, mengulang sepenggal kenangan masa kecil yang pernah mereka rajut keindahannya.
***
Wanita berumur 27 tahun terlihat sedang sibuk berkutat dengan laptopnya. Sesekali diteguknya kopi yang mungkin sudah mencapai gelas keempat. Selain laptop, tumpukan file-file sudah menggunung di depannya. Harus diselesaikan malam ini atau ocehan atasan akan menjadi sarapan paginya besok.
Grinda menghembuskan nafas panjang. Dirinya lelah. Segera dihentikan aktivitasnya yang belum berhenti sedari tadi. Matanya sudah mengantuk memperhatikan layar laptopnya, lehernya sudah pegal karena belum istirahat sekalipun, dan perutnya sudah berteriak karena belum makan semenjak sore. Cukup. Kali ini dirinya harus refreshing sebentar.
Dengan lemas Grinda melangkahkan kakinya kearah dapur. Memeriksa apa yang bisa dimakan. Tidak ada apapun tersisa. Di kulkas juga tidak ada bahan makanan pengenyang yang bisa dimakan. Grinda memutuskan membeli makanan di depan jalan rumahnya.
Hujan. Malam itu hujan turun meskipun tidak lebat dan hanya gerimis yang cukup sering. Grinda mengambil payungnya dan berjalan pelan melewati jalan perumahan yang becek dan sepi karena hujan.
Di tengah perjalannannya, Grinda teringat masa-masa gilanya saat SMA dulu. Meskipun dibilang sudah dewasa saat SMA, dia masih bisa melakukan hal gila. Melakukan apapun meskipun dia sadar usianya sudah 17 tahun. Itu sudah lama, sepuluh tahun yang lalu. Grinda meringis, merasakan sisa-sisa kesenangannya.
Karena berjalan dengan lambat Grinda tidak sampai-sampai keujung jalan. Hawa dingin merasuk memasuki jaketnya. Meskipun jaketnya tebal masih saja dingin itu merayap menembus tulang. Grinda mempercepat langkahnya. Namun, dia merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Grinda semakin mempercepat langkahnya dan tidak berani menoleh kebelakang.
Grinda memang takut hantu, namun tidak mungkin pukul tujuh begini ada hal semacam itu. Perampoklah yang ada di pikirannya. Grinda mempercepat langkah setengah berlari. Orang di belakangnya tidak mau kalah dan terus mengejar Grinda. Secepatnya Grinda berlari akhirnya orang itu berhasil meraih pundak Grinda dan menghentikannya. Grinda menoleh dengan wajah takut-takut.
Orang itu tertunduk dengan nafas tersengal-sengal. Wajahnya tertutup capuchon coklatnya.
"Maa..maaf, saya tidak punya banyak uang.." ucap Grinda terbata-bata. Orang itu tertawa. Suara wanita. Wanita itu kemudian membuka tudung capuchon dengan tangannya. Grinda kaget melihat siapa gerangan yang dilihatnya. Wanita itu tersenyum, meskipun sudah sepuluh tahun, wajah itu tetap wajah yang diingat Grinda. Apalagi saat ini hujan, hujan membuat Grinda selalu mengingat wajah itu.
"Daniaaa...apaan sih!! Kok kamu bisa di sini?" teriak Grinda histeris.
"Haha, masa sekretaris perusahaan ternama gak punya uang sih?" goda Dania. Grinda tersenyum senang melihat sahabatnya. Sudah lama mereka tidak bertemu semenjak Dania memutuskan meneruskan studinya di Singapore. Kali ini mereka bertemu lagi di tengah hujan yang mengingatkan Grinda akan masa-masa gila mereka di SMA dulu.
"Yahh..sekretaris perusahaan ternamaaa..." ucap Grinda lirih.
"Eh, jadi lemes gitu. Kamu ngapain Grin malem-malem gini jalan sendirian?"
"Cari makan." jawab Grinda memelas sambil memegang perutnya.
"Oh, kirain. Yaudah ayo balik kerumah kamu aja." Dania menggandeng tangan Grinda dan membawanya berbalik arah.
"Ehh, dirumah gak ada makanan Dann.."
"Haha, tenang, aku udah sediain peralatan 'perang' di mobil. Cukup buat kita gegosipan sampe malem. Hehe."
"Sorry ya, habis aku nggak tau kamu bakalan balik sekarang, setelah menghilang.."
Dania mengangguk-angguk. Dalam perjalanan terbesit ide gila di otaknya. "Grin.."
"Hmm..."
"Gimana kalau kita hujan-hujanan dulu. Mumpung gak begitu deras, ayolah..udah lama gak buat hal gila.." ajak Dania. Grinda menggeleng. Mau cari mati kalau hujan-hujan malam ini, tugasnya masih menumpuk.
"Tugas ngantor numpuk Dann.." keluh Grinda. Dania menghentikan jalannya yang otomatis membuat Grinda juga berhenti. Grinda menoleh kearah Dania yang ternyata sudah melipat payungnya dan membuka jaket coklatnya. Grinda tersenyum melihat kelakuan sahabatnya itu.
"Ayo Grinn..udah lama kita nggak seseruan kayak giniii.." Dania berputar-putar menyambut gerimis hujan tidak peduli blouse yang dipakainya sudah basah.
"Kayak sinetron, film drama picisan.." Grinda mengulang ucapan Dania dulu kemudian bergabung menikmati tetesan hujan dan melepas lelahnya. Sungguh menyenangkan, Grinda tidak pernah lagi merasakan sensasi memori masa kecilnya, perbuatan gila saat SMA.
Grinda dan Dania berjalan menuju rumah Grinda sambil menikmati hujan dan saling bertukar cerita mereka masing-masing. Perjumpaan sahabat yang sudah lama terpisah jarak dan waktu. Saling berbagi kesenangan dan cerita di tengah hujan yang mengingatkan mereka akan masa SMA terdahulu. Sungguh indah masa SMA, terasa manis, tanpa beban. Tidak ada lelah berarti karena hal gila masih bisa menggantikan lelah yang ada.
"So..gimana kabarnya si bos? Katanya kamu kerja di kantor si Andra? Katanya kamu sekretaris dia? Ketemu tiap hari doooongg..wooowww.." goda Dania.
"Dania apaan sih, dia bos aku tau! Bukan teman SMA yang dulu dipuja-puja."
"Alah, alesan. Bilang aja seneng gitu. Haha.."
"Kamu sendiri? Ngapain ikut-ikutan si Dio milih kuliah di Singapore? Buang-buang duit aja!" ledek Grinda.
"Woo, ngalihin topik, bilang aja deh kalau udah kalah. Hehe.."
"Daniaaa..udah deh, bilang aja kalau nggak bisa jawab." sindir Grinda.
"Eh, sorry ya. AKu kuliah di sana karena papa yang nyuruh!" ucap Dania yakin.
"Oh yeah? Masa? Papa yang menyuruh atas paksaan Dania.." ledek Grinda.
"Grindaaaa...awas kamu ya!!" Dania akan melayangkan jitakannya kearah kepala Grinda. Sebelum mengenai kepala Grinda, si empunya kepala sudah lari terlebih dahulu. Mereka berdua akhirnya berlarian di tengah hujan. Tidak ingat bahwa mereka sudah menjadi wanita dewasa. Mereka hanya berlari dan tertawa, melepas semua penat yang mereka rasakan.
***
"Grinda! Dania! Ayo kalian pulang. Sudah sore! Lagian ngapain kalian pakai acara hujan-hujanan segala! Kalian ini sudah kelas tiga SMA!!! Kayak anak TK aja!!" Suara Pak Nirto berlomba-lomba dengan suara hujan menggema di seluruh lapangan. Anak-anak yang masih ada di sekolah, yang tadinya tidak sadar ada dua orang siswa yang hujan-hujannan kini malah melihat kearah mereka.
Grinda menatap Dania dengan senyum yang tertahan. Anak-anak yang masih ada di sekitar sekolah kini mulai mengejek dan menertawakan mereka.
"Dasar anak TK!!!" teriak cowok di depan ruang kelas IPA 7.
"Dasar MKKB..Masa Kecil Kurang Bahagia!!!" teriak seseorang entah darimana.
Grinda dan Dania hanya tertawa mendengarnya. Mereka berdua sudah memutuskan urat malu mereka untuk saat ini. Hanya kebahagian dan kepuasan yang ada dalam hati mereka. Sebuah tindakan sederhana yang mengingatkan mereka akan masa kecil tanpa beban yang ingin sekali mereka rasakan. Tidak ada rasa pura-pura, tidak ada rasa malu, yang ada hanyalah keinginan tulus dan polos dari anak-anak yang ingin bermain-main di tengah indahnya hujan.